Text
Gamelan perang di Bali (Abad ke-10 sampai abad ke 21)
ABSTRAK
Judul Disertasi
Subjek
GAMELAN PERANG DI BALl (ABAD KE-10 SAMPAI
AWAL ABAD KE-21)
1. Sejarah
2. Bali
3. Gamelan
4. Perang
Abstrak
Disertasi ini berisi kajian tentang gamelan perang di Bali, abad ke-IO sampai
awal abad ke-21. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: pertama
bagaimana asal-usul gamelan perang di Bali, kedua mengapa terjadi perubahan nama
dari mredangga, bedug, dan kemudian menjadi tambur, ketiga apakah instrumentasi
gamelan Mredangga sama dengan instrumentasi gamelan Bheri, dan keempat bagaimana
proses perjalanan gamelan Banjuran menjadi Adi Merdangga.
Metode yang dipergunakan dalam kajian ini adalah metode sejarah, yang
dilakukan dengan empat tahapan kerja yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan
historiografi. Untuk menganalisa perubahan-perubahan yang terjadi, antara lain
menggunakan teori perubahan perubahan yang dicetuskan oleh Claire Holt dimana
perubahan dipicu oleh faktor eksternal. Selanjutnya perubahan dari John E. Keamer
yang menyebutkan bahwa inovasi bisa berasal dari salah seorang anggota kelompok
masyarakat yang bersangkutan (atau senimannya), maka dengan demikian konsep
perubahan taksu dan jengah pada masyarakat Bali diterapkan dalam membedah
perubahan yang terjadi pada gamelan perang. Untuk melihat perkembangan dan
penyebarannya dipergunakan teori dari Bourdieu tentang habitus dimana kebiasaan
merupakan pusat tindakan. praktik-praktik merupakan kegiatan reflektif dan produktif.
Perkembangan gamelan perang di Bali tidak terlepas dari tonggak-tonggak
peristiwa sejarah di Bali. Gamelan Perang di Bali pada dewasa ini ada yang dibawa
dari luar dan ada yang berkembang asli dari Bali sendiri. Mredangga adalah instrumen
ataupun gamelan yang dibawa dari luar Bali dan memang berfungsi sebagai gamelan
untuk memberikan semangat dalam peperangan, kemudian berkembang menjadi
Bedug, Tambur, dan terakhir menjadi gamelan Ketug Bumi. Sedangkan gameJan
perang asli dari Bali adalah abanjuran atau banjuran, ganjuran, kalaganjur,
balaganjur dan kemudian berkembang menjadi Adi Merdangga. Tidak satupun kata
balaganjur tersurat dalam naskah-naskah kuna, dan dipergunakan dalam peperangan,
namum dari berbagai tulisan seniman dan cendikiawan karawitan Bali yang
mengartikan bahwa balaganjur adalah gamelan yang dipergunakan untuk mengiringi
tentara yang sedang berbaris, maka dimasukanlah balaganjur ke dalam gamelan
perang. Perkembangan gamelan perang di Bali pada awal abad 21 ini tentunya
dihadapkan pada persoalan nilai-nilai filsafat, etika, estetika, dan teknik berkesenian
dalam hubungannya dengan permasalahan sosial, budaya, pariwisata, dan agama.
Maka gamelan perang telah menjelma menjadi gamelan dengan nuansa yang barn.
No copy data
No other version available