Text
BUDAYA POLITIK ELIT PARTAI : KONFLIK PEMILIHAN ANGGOTA DPRD DI KABUPATEN BOMBANA PROPINSI SULEWESI TENGGARA TAHUN 2014
Kebudayaan dan politik menjadi hal yang saling terkait satu sama lain,
dalam setiap momen dan peristiwa yang melibatkan kedua hal tersebut, begitu
pula dalam rangkaian kegiatan pemilu di daerah. Sistem desentralisasi membuat
daerah dapat mengatur dengan lebih leluasa urusannya sendiri, begitu pun soal
pemilihan kepala daerah maupun anggota DRPD nya. Di dalam tipologi
masyarakat yang cenderung homogen, pemilihan kepala daerah dan anggota
dewan perwakilan rakyat daerah menjadi menarik, hal ini di karenakan faktor
budaya, adat, serta kebiasaan masyarakat tersebut bisa menjadi unsur yang
dominan masyarakat tersebut dalam memilih kepala daerah dan wakil rakyat nya.
Pemilihan kepala daerah maupun anggota DPRD di daerah memang rent an
akan berbagai konflik, baik itu vertikal maupun horisontal sering kali menjadi
masalah laten hampir di setiap penyelenggaran pilkada di daerah. Lewis Coser
dalam bukunya The Functions Of Social Conflict ini, mengutip dan
mengembangkan gagasan George Siminel untuk kemudian dikembangkan.
penjelasan tentang teori konflik Simmel sebagai berikut: Simmel memandang
pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat struktur
sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup berbagai proses asosiatif dan
disosiatif yang tidak mungkin terpisahp isahkan, namun dapat dibedakan dalam
analisa. konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam
pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. konflik dapat
menempatican dan menjaga garis batas antara dun atau lebih kelompok. konflik
dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan
melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial di sekelilingnya.
Dalam penelitian kali penulis mengambil tema tentang konflik pemilihan
anggota DPRD di kabupaten bombana. masyarakat bombana yang cenderung
homogen secara kultur, temyata beragam dalam menanggapi pemilihan di daerah
terutama pemilihan anggota DPRD yang penulis fokuskan. dan hasil penelitian di
dapat, bahwa konflik dalam lingkup yang lebih kecil yakni keluarga dapat di
jadikan sebagai pangkal konflik yang lebih luas, selanjutnya hal hii akan menjadi
masalah laten yang sewaktu-waktu dapat timbul kembali. selanjutnya adalah
masalah mentalitas dan kesiapan masyarakat dalam merespon sistem pemilu yang
sekarang ini, dimana liberalisasi terjadi sehingga siapa pun dapat mencalonkan
menjadi anggota dewan tanpa harus mempertimbangkan apakah ia kader partai
atau orang yang telah mengabdi dan menjalani sejumlah proses kaderisasi di
partai politik. Hal ini tentunya menimbulkan persoalan di dalam partai politik itu
sendiri maupun dalam praktik di lapangan.
No copy data
No other version available