Eksploitasi Simbol Agama Dan Budaya Dalam Industri Televisi
Televisi merupakan alat yang sangat penting untuk mengakumulasi modal.
Di antara banyak jenis program aeara televisi, sinetron adalah salah satu program
yang paling populer dan banyak ditonton oleh masyarakat. Oleh karena itu, tulisan
ini berusaha untuk membongkar bentuk eksploitasi simbol agama Islam dan
budaya Betawi dan pengaburan makna yang terjadi dalam teks; mekanisme
produksi, distribusi dan konsumsi sinetron; dan mengungkap praktik sosiokultural
keberadaan produksi sinetron Tukang Bubur Naik Haji (TBNH) di RCTI.
Penelitian ini menggunakan paradigma kritis dengan kajian ekonomi politik
komunikasi dan analisis waeana kritis dari Norman Fairc1ough. Pengumpulan data
dilakukan dengan analisis teks, wawaneara mendalam, penelusuran dokumen dan
kepustakaan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa simbol agama Islam dan budaya
Betawi telah dieksploitasi sebagai komoditas untuk diperjualbelikan dan
maknanya dikaburkan. Simbol tersebut dikomersialkan, melalui penggunaan kata
kata, kalimat atau adegan yang sensasional, provokatif dan hiperbola agar
menghibur khalayak dan menarik pengiklan. Sinetron diproduksi dan dikonsumsi
dalam sebuah kerangka sistem kapitalis. Pekerja sinetron dan khalayaknya telah
dieksploitasi seeara berlebihan tanpa disadari oleh pekerja itu sendiri.
Sinetron TBNH muneul dalam situasi masyarakat yang sangat gandrung
pada simbol-simbol agama dan budaya Islam popular. Struktur sosial, budaya,
ekonomi dan politik serta sejarah eukup mempertegas bentuk sistem kerja yang
eksploitatif dalam sinetron ini. Bentuk eksploitasi agama dan budaya ini adalah
hilir dari permasalahan yang ada di hulu yaitu yang terkait dengan regulasi
pertelevisian, sistem politik dan perekonomian di Indonesia. Waeana Islam dan
budaya etnis Betawi menjadi bagian dari waeana industri budaya populer yang
akan terus diproduksi yang memuneulkan budaya populer di masyarakat yang
disebut "budaya Islam populer". Konstruksi budaya televisi ini tidak terlepas dari
kekuasaan konglomerasi dan pemusatan kepemilikan media yang hanya ada pada
segelintir kelompok konglomerat media. Ini adalah akibat dari kepedulian dan
kontrol pemerintah yang kurang dan pelaksanaan undang-undang serta penegakan
hukum lemah.
No copy data
No other version available