Makna, motif dan perilaku kekuasaan dalam komunikasi polittik
Penelitian ini berjudul: Makna, Motif dan Perilaku Kekuasaan Dalam
Komunikasi Politik. Studi Kasus Persaingan Politik Antar Etnik: Orang Lampung
dan Orang Jawa di Bandar Lampung dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah
Bandar Lampung Tahun 2010.
Penelitian ini bermaksud'rnenjelaskan dan mendeskripsikan makna
kekuasaan, motif kekuasaan, perilaku kekuasaan dalam komunikasi politik oleh
kandidat pada pemilukada Bandar Lampung 2010. Informan pokok dalam
penelitian ini adalah enam pasang kandidat walikota, sedangkan informan kunci
para aktivis, pengamat dan tokoh pers di Bandar Lampung. Objek penelitian ini
adalah kompetisi politik orang J awa dan orang Lampung di Bandar Lampung,
Penelitian interpretif ini dengan metode penelitian studi kasus dari Robert
E. Stake, dengan skema peristiwa komunikasi politik; kompetisi antara orang
Jawa dan orang Lampung dalam Pemilukada sebagai kasus intrinsik, pemilukada
Bandar Lampung 2010 sebagai studi kasus instrumental, pemaknaan, motif dan
perilaku kekuasaan, sebagai multi kasus.
Hasil penelitian ini menunjukkan: 1) kekuasaan dimaknai sebagai sumber
daya ekonomi sebagai pengganti alarn. Dengan pendidikan, akses kekuasaan
dimulai melalui PNS (pegawai Negeri Sipil), partai politik, dan pemilukada.
Pemekaran dalam otonomi daerah dimaknai sebagi diversifikasi sumber daya. 2)
orang Lampung memiliki motif kekuasaan yang terbuka daripada orang Jawa di
Bandar Lampung. Motif kekuasaan dalam pemilukada bagi orang Lampung
karena interaksinya dengan orang Jawa di Lampung, semula menjadi berkah
kemudian menjadi penjajah.
3) Pada era Sentralistis, orang Jawa dominan atas orang Lampung dalam
kekuasaan di Lampung, melalui pemilukada orang Lampung membuktikan
dominasinya atas orang Jawa. 4) Orang Lampung dipersepsi sebagai pemimpin
penguasa, yang menghimbau tetapi memaksa, lugas, tegas dan berani,
berkomunikasi dengan konteks rendah selaras dengan masyarakatnya. Hasilnya
dipersepsi efektif: kota menjadi lebih teratur, dan jalan mulus. Sedangkan orang
Jawa di Bandar Lampung dipersepsi sebagai pemimpin-manajer, yang
memerintah tetapi menghimbau, tidak langsung dan menggunakan bahasa
eufisme, berkomunikasi dengan konteks tinggi sedangkan masyarakatnya konteks
rendah. Hasilnya pembangunan kota, kurang dihargai, karena kehadirannya
kurang dirasakan.
No copy data
No other version available