Komunikasi Pemerintah Dalam Mengonstruksi Citra Kota Solo SEbagai Budaya Dan Pariwisata (Studi Kasus Branding Solo The Spirit Of Java)
u
••
ABSTRAK
Permasalahan utama yang dihadapi banyak kabupaten/kota dalam otonomi
daerah saat ini adalah bagaimana meningkatkan daya saing daerah sehingga potensi
yang dimilikinya dapat tergarap dengan maksimal. Daya saing yang rendah antara
lain disebabkan kurangnya pengetahuan (awarenes) investor maupun wisatawan
terhadap potensi daerah tersebut. Salah satu upaya strategis untuk meningkatkan daya
saing dan nilai jual potensi daerah adalah dengan melakukan upaya pencitraan
melalui branding. Sejak tahun 2008, Kota Solo telah meluncurkan brand Solo The
Spirit of Java dan juga diikuti dengan berbagai perubahan dan serangkaian aktivitas
di kota Solo. Aktivitas branding kota ini memiliki kompleksitas karena memunculkan
pro dan kontra serta tanggapan yang berbeda dari publik Kota Solo sendiri.
Oleh karena kompleksitas dan kebaruan fenomena branding kota di
Indonesia, peneliti tertarik untuk meneliti Kota Solo sebagai salah satu diantara
sedikit kota yang melakukan branding di Indonesia. Penelitian ini mengkaji dinamika
dalam proses branding di Kota Solo tersebut, khususnya melihat bagaimana
pemerintah daerah sebagai pelaku utama branding dalam mengkonstruksi citra kota
budaya dan pariwisata, bagaimana mereka melibatkan dukungan pemangku
kepentingan dalam membentuk citra kota budaya dan pariwisata, serta bagaimana
warga dan wisatawan merespon upaya branding tersebut.
Untuk mengungkap pertanyaan tersebut penelitian ini menggunakan
paradigma konstruktivis dengan metode kualitatif sehingga dapat menghasilkan
pemahaman dari perspektif para pelaku. Desain studi kasus multi kasus digunakan
untuk mendapatkan penjelasan komprehensif mengenai sebuah kasus yaitu proses
branding Kota Solo.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa branding Kota Solo merupakan
sebuah konstruksi sosial yang diciptakan oleh pemerintah sebagai upaya untuk
meneguhkan identitas budaya sebagai citra yang dipersepsi oleh publik. Aktivitas
branding. secara simultan dapat dipahami sebagai bentuk ekstemalisasi, obyektivasi
serta intemalisasi. Belum adanya perencanaan yang baku serta masih lemahnya
koordinasi antara pemerintah dengan pelaku lainnya membuat brand kota budaya
mengalami inkonsistensi. Pemerintah juga cenderung memutuskan sendiri dalam
event yang dilakukan. Meskipun mengundang pemangku kepentingan untuk
memberikan masukan, namun keputusan akhir tetap di tangan pemerintah, sehingga
belum mencapai involvement maupun commitment. Sebagian besar wisatawan
mengatakan kurang mendapatkan informasi terkait Kota Solo, sehingga citra yang
terbentuk lebih merupakan citra organik dibandingkan citra ciptaan. Namun dalam
hal ini tidak dapat perbedaan karena citra ciptaan memiliki kesamaan dengan citra
organiknya.
Kata Kunci: Komunikasi Pemerintah, City Branding, Pemangku Kepentingan
No copy data
No other version available