Tanggung Jawab Negara Untuk Menghukum Pelaku Kejahatan Perang Di Mahkamah Pidana Internasional Menurut Ketentuan Hukum Humaniter
ABSTRAK
Tanggung jawab negara untuk mengadili dan menghukum baik pemimpin politik maupun militer yang diduga bertanggungjawab dalam kejahatan perang dan HAM, merupakan norma hukum universal. Tanggung jawab negara secara internasional tidak saja diwujudkan dengan menghukum pelakunya, tetapi juga meregulasi ketentuan HAM tersebut dalam sistem hukum domestik. Indonesia sebagai salah satu masyarakat internasional telah meregulasi tanggung jawab internasional tersebut dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Ketentuan dari Undang-undang HAM nasional tersebut merupakan adopsi regulasi baik seluruhnya ataupun sebagian dari berbagai konvensi baik HAM, Hukum Humaniter, pengadilan Nurumberg 1945, Tokyo 1946, Konvensi Gonosida 1948, ICTY 1992, ICTR 1994, maupun Statuta Roma 1998/ICC. Hal tersebut dapat dilihat baik dalam ruang lingkup kewenangan pengadilan HAM maupun pengertian dari pelanggaran HAM berat. Undang¬undang ini juga sebagai benteng politik bagi Indonesia untuk menghindari munculnya intervensi asing untuk menghukum pelaku kejahatan tersebut dari sudut penilaian prinsip unable dan unwilling.
Penelitian disertasi ini mengunakan pendekatan yuridis normatif dengan menitik beratkan pada studi kepustakaan melalui penelaahan bahan-bahan pustaka atau data sekunder serta penelitian virtual (virtually research). Penganalisian data disertasi ini mengunakan metode, antaranya : metode sejarah hukum (legal historical method), metode perbandingan hukum (comperative law method/rechtscomparatief ), dan metode hukum yang akan datang (legal futuristic method),
Hasil penelitian menunjukan bahwa, ketentuan penghukuman terhadap pelaku kejahatan perang baik dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000, merupakan aturan-aturan hukum yang terdapat dalam hukum humaniter, ICC, dan berbagai ketentuan kebiasaan internasional lainnya. Namun, pengadopsian sejumlah ketentuan tersebut disesuaikan dengan kepentingan nasional Indonesia. Penghukuman individu pelaku kejahatan perang melalui mekanisme nasional dengan prinsip yurisdiksi universalnya, dipandang merugikan dan menyulitkan posisi negara yang bersangkutan. Sedangkan mekanisme internasional/PBB (ad hoc atau hybrid), kadang-kadang tidak dapat dilakukan karena adanya veto dari salah satu anggota tetap DK PBB yang merasa kepentinggan nasionalnya dirugikan. Oleh karena itu mekanisme resolusi yang dikenal dalam mekanisme PBB tersebut sebaiknya dihilangkan. PBB disarankan lebih bersifat proaktif dalam melakukan pengusutan terhadap para pelaku tindakan kejahatan perang. Sikap proaktif tersebut dilakukan dengan mengecualikan kemauan politik dari negara-negara anggota tetap DK PBB dan dibenarkan menurut Pasal 13 (b) dan Pasal 53 (2) ICC.
No copy data
No other version available