PERKEMBANGAN PENERAPAN PROGRAM REDUCING EMISSIONS FROM DEFORESTATION AND FOREST DEGRADATION (REDD+) BERBASIS KEARIFAN MASYARAKAT HUKUM ADAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DI INDONESIA
Cancun Agreement dalam Paragraf 71 bagian d mensyaratkan bahwa Negara-negara
berkembang untuk mengembangkan sebuah sistem yang memberikan informasi tentang
pelaksanaan REDD+ Social Safeguards untuk memastikan bahwa safeguards dilaksanakan
dan dihormati dalam seluruh tahapan implementasi REDD+. Paragraf 72 juga menyatakan
bahwa Negara berkembang, ketika mengembangkan dan menerapkan strategi nasional
untuk mengatasi pemicu deforestasi dan degradasi hutan, isu kepemilikan lahan, dan
masalah tatakelola hutan, harus memastikan partisipasi penuh dan efektif masyarakat
hukum adat. Ketentuan Cancun Agreement ini merupakan dasar hukum utama tentang
tanggung jawab negara terkait dengan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hakĀ
hak masyarakat hukum adat dalam pelaksanaan REDD+. Diperlukan kerangka kerja hukum
nasional untuk mengintegrasikan safeguards ke dalam sistem nasional yang relevan untuk
memungkinkan negara-negara tersebut untuk mengkontekstualisasikan safeguards. Oleh
karena itu, setiap negara dapat mempertahankan kedaulatannya sambil memastikan
terjemahan safeguards atas dasar prinsip-prinsip umum yang disepakati secara
intemasional. Namun, dalam praktiknya, hak masyarakat hukum adat atas sumberdaya
alam tidak selalu dijamin dan ditegakkan. Selain itu, hak masyarakat hukum adat atas
sumberdaya alam kurang mendapatkan pengakuan hukum formal, meskipun dalam
beberapa tahun terakhir beberapa negara telah mengesahkan undang-undang untuk
melindungi hak masyarakat hukum adat atas sumberdaya alam. Identifikasi permasalahan
yang dikaji adalah bagaimanakah perlindungan hak masyarakat hukum adat dalam
kerangka hukum intemasional dan hukum nasional tentang program REDD+, kearifan
masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan yang terkait dengan upaya penurunan
emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan bagaimanakah konsep perlindungan hak masyarakat
hukum adat dalam program REDD+.
PeneIitian ini menggunakan metode peneIitian yuridis normatif dengan penekanan
kepada data sekunder. Pendekatan hukum normatif diIakukan dengan meIakukan kajian dan
anaIisis yang menyeluruh dan mendalam terhadap seluruh data sekunder. Bahan hukum yang
digunakan yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Penelitian juga menggunakan
studi perbandingan hukum dengan Negara Vietnam dan Brazil. AnaIisis data dilakukan
dengan menggunakan metode yuridis kuaIitatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap
kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan kajian penelitian ini.
Hasil peneIitian menunjukkan bahwa kerangka hukum REDD+ nasional tidak
memiIiki ketentuan yang jelas untuk mengatasi permasalahan tenurial. Tanpa kejelasan
tenurial, kebijakan tentang REDD+ berpotensi untuk memarjinaIkan dan
mengkriminalisasi masyarakat hukum adat yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan
hutan, yang tidak memiliki hak penguasaan atas lahan dan kawasan hutan berdasarkan
bukti hukum formal. Hutan memiliki nilai multi-fungsional dan berperan bagi masyarakat
adat yang telah sejak lama bergantung pada sumber daya hutan untuk mata pencaharian
mereka. Mereka telah mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya hutan yang
berkelanjutan untuk mendukung mata pencaharian mereka dan ketahanan pangan. Konsep
free, prior, and informed consent (FPIC) harus dipahami sebagai salah satu proses dan
mekanisme yang menyeluruh yang berlaku khusus untuk masyarakat hukum adat dalam
melaksanakan proses pengambilan keputusan bersama mereka. Prinsip-prinsip dan
substansi setiap eIemen FPIC saIing terkait dan tidak boIeh diambil atau diperlakukan
sebagai elemen yang terpisah. Konsep pembagian manfaat dalam proyek REDD+ sangat
dipengaruhi oIeh penguasaan lahan berdasarkan hukum formal, karena akan menentukan
pelaku mana yang berhak untuk meIakukan kegiatan dan mengkIaim manfaat dari kawasan
tertentu atas tanah dan sumberdaya aIam yang terkait dengannya.
No copy data
No other version available