KEBEBASAN PERS DALAM AKTIVITAS JURNALISTIK DI DAERAH KONFLIK
Penelitian ini bertujuan memahami kebebasan pers di Papua, pemaknaan
jurnalis terhadap kebebasan pers, kebebasan pers dalam pemberitaan isu-isu
sensitif dan penyebab rentannya para jumalis mengalami tindak kekerasan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus dengan
paradigma konstruktivis. Subjekdalam penelitian ini sebanyak 23 jurnalis yang
dipilih secara purposif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara
mendalam, pengamatan, dokumentasi dan studi literatur. Data dianalisis dengan
cara penyajian data, reduksi dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebebasan pers dalam aktivitas
jurnalistik di Provinsi Papua sebagai daerah konflik belum berjalan baik karena
hambatan internal pers (pers yang belum sehat secara ekonomi dan rendahnya
profesionalisme jurnalis) dan hambatan eksternal (sulitnya akses informasi bagi
jurnalis). Parajurnalis menyikapi kondisi ini dengan cara menghindari situasi dan
kondisi yang membahayakan keselamatan diri, membangun komunikasi dengan
berbagai pihak, mencari sumber berita alternatif, dan memberitakan sisi lain dari
pihak yang berkonflik.
Jurnalis memaknai kebebasan pers sebagai bebas dari segala macam
ancaman, larangan serta intimidasi, bebas untuk membangun hubungan dengan
siapapun dan bebas untuk memberikan informasi yang benar, objektif dan tidak
mengada-ada sebagai bentuk tanggung jawab kepada publik. Jurnalis memaknai
jaminan kebebasan pers dalam Undang-undang Pers No.40 tahun 1999 masih
memerlukan ketegasan dan pembahasan khusus terutama tentang aktivitas
jurnalistik dan perlindungan khusus di daerah konflik sebagai sebuah kebutuhan
dalam berbagai bentuk seperti asuransi dan perlengkapan kerja khusus.
Kebebasan pers dalam pemberitaan isu-isu sensitif di Provinsi Papua sebagai
daerah konflik menuntut para jurnalis mempertimbangkan keselamatan diri (tidak
memberikan ruang yang besar dalam pemberitaan bagi kelompok yang
berseberangan dengan pemerintah, tidak memberitakan isu Papua merdeka atau
isu-isu sensitif lainnya serta menunda pemberitaan jika situasi dan kondisi sedang
memanas), menggunakan bahasa yang berperspektif damai (memperhalus bahasa
yang digunakan dengan tidak menyebut secara terbuka pihak yang terlibat dalam
konflik dan mengangkat sisi lain dari pihak yang berkonflik) dan berpegang teguh
pada kode etik jurnalistik (memberitakan fakta apa adanya dan memperhatikan
perimbangan nara sumber).
Penyebab masih rentannya jurnalis mengalami tindak kekerasan di Provinsi
Papua sebagai daerah konflik karena faktor internal (rendahnya profesionalisme
j urnalis, kurang maksimalnya peran perusahaan pers dalam memberikan
perlindungan kepada jurnalis, dan kurang maksimalnya peran organisasi jurnalis
dalam membantu penyelesaian kasus kekerasan yang dialami jurnalis) dan faktor
eksternal pers (kurangnya pemahaman aparat keamanan, pemerintah, dan
masyarakat akan profesi jurnalis dan tugas jurnalistiknya).
No copy data
No other version available