Text
Keterlibatan Penduduk Sipil Pada Sengketa Bersenjata Non-Internasional Menurut Perspektif Hukum Nasional Dalam Kerangka Negara Hukum
ABSTRAK
Peningkatan partisipasi langsung penduduk sipil pada konflik bersenjata noninternasional
disebabkan banyak hal seperti frekuensi konflik bersenjata antarnegara yang
secara drastis berkurang, terjadi revolusi masalah-masalah militer, meningkatnya peran
orang sipil dalam perang berteknologi modern seperti perang siber dan penggunaan
drone, medan pertempuran di wilayah pemukiman, penggunaan sumber daya non-militer
maupun pengaruh politik global dalam tingkat tertentu seperti yang terjadi pada Arab
Spring. Partisipasi tersebut melanggar prinsip pembedaan karena mengaburkan penduduk
sipil yang tidak turut serta dan yang berpartisipasi langsung dalam permusuhan.
Ketidakjelasan makna partisipasi langsung dalam permusuhan dalam Pasal 3 Konvensi
Jenewa 1949 dan Pasal 13 ayat (3) Protokol Tambahan II 1977 membuat ICRC
mengusulkan Interpretive Guidance sebagai pedoman tatacara berperang walaupun
mendapatkan penolakan karena alasan militer dan non-militer. Mengingat hal ini dapat
terjadi di masa datang, perlu dikaji apa saja batasan yang harus dipertimbangkan
Indonesia, bagaimana perspektif hukum nasional maupun politik hukum tentang
partisipasi langsung dalam permusuhan pada konflik bersenjata non-internasional dalam
kerangka negara hukum. Analisis kualitatif dilakukan pada norma hukum, kelembagaan
terkait serta politik hukum perundang-undangan maupun penegakannya melalui
penelitian pada bahan hukum primer dan sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi tempur yang bersifat terus-menerus
(continuous combat function) terkait mekanisme “revolving door” yang memberikan
perlindungan dari serangan langsung pada orang sipil dalam jeda/interval sebelum
kembali berpartisipasi aktif, sebagai unsur partisipasi langsung dalam permusuhan adalah
norma baru yang tidak terdapat dalam hukum humaniter sehingga pada akhirnya
mengaburkan prinsip pembedaan. Gagasan Interpretive Guidance belum dapat menjawab
tantangan tersebut, terutama dengan bentuk perang modern seperti penggunaan drone dan
perang siber yang memiliki aspek temporal dan kedekatan geografis. Sementara prinsip
pembedaan adalah prinsip fundamental yang diderivasikan dari ajaran agama dan
dikuatkan dalam berbagai instrumen hukum humaniter sehingga tidak dapat
dikesampingkan dengan pertimbangan non-militer atau HAM. Adapun perspektif hukum
nasional masih memerlukan penyempurnaan secara fundamental. Sistem pertahanan
rakyat semesta berdasarkan Pasal 27 ayat (3) dan 30 ayat (1) UUD 1945 tentang hak dan
kewajiban bela negara pada satu sisi tidak selaras dengan penerapan prinsip pembedaan
karena akan menempatkan seluruh komponen cadangan maupun komponen pendukung
sebagai “kombatan”. Pasal 7 UU No. 34/2004 tentang TNI yang menentukan tugas
mengatasi perang pemberontakan dan perlawanan separatis bersenjata dengan operasi
militer selain perang (OMSP) menggambarkan suatu contradictio in terminis. Perppu No.
23 tahun 1959 tentang keadaan bahaya dan aturan lainnya belum mengatur tolok ukur
intensitas konflik dan rezim hukumnya.
Oleh karena itu UU TNI harus direvisi terkait penentuan status orang sipil dalam
penerapan prinsip pembedaan, pemisahan perang pemberontakan dan gerakan separatis
bersenjata dari operasi militer selain perang dan penegasannya sebagai konflik bersenjata
yang tunduk pula pada rezim hukum humaniter. Perppu No. 23/1959 harus menetapkan
parameter objektif ambang batas minimum konflik bersenjata non-internasional dan
rezim hukum untuk setiap keadaan darurat. Agar penyempurnaan norma hukum serta
kebijakan negara terlaksana pada koridor rule of law, termasuk pada norma hukum
humaniter yang berstatus sebagai hukum kebiasaan internasional seperti prinsip
pembedaan, maka diperlukan suatu Manual Militer yang bersifat komprehensif sehingga
penanganan konflik semacam ini tidak lagi bersifat reaktif dan parsial.
vii
ABSTRACT
Increased direct participation by civilians in non-international armed conflicts is
caused by various things such as the frequency of armed conflicts between countries have
drastically reduced, revolution in military affairs, the increasing role of civilians in
modern technology warfare such as cyber warfare and the use of drones, the battlefield
in residential areas, the use of outsourcing in traditional military functions and certain
level conflict as occurred in “Arab Spring”. Such participation violates the principle of
distinction because it obscures civilians who do not participate and who participate
directly in hostilities. This obscurity is increased with the vagueness of an clear
understanding on the concept of direct participation in hostilities stipulated in Article 3
of the 1949 Geneva Conventions and Additional Protocol II of 1977. This resulted in
ICRC proposal of Interpretive Guidance, despite gaining rejection for military and nonmilitary
reasons. Given such participation can occur in the future, it is necessary to
examine legal aspects to be considered by Indonesia, including the perspective of
national law and government policies within the framework of the rule of law. Qualitative
analysis is carried out on legal norms, related institutions and legal policy as well as its
enforcement through research on primary and secondary legal materials obtained from
library studies.
The results shows that continuous combat function related to “revolving
door” mechanism that provides protection from direct attack at the interval
before returning to active participation as an element of direct participation in
hostilities, is a new norm, inaccordance with and ultimately obscures distinction
principle. Interpretive Guidance has not been able to answer this challenge, especially
in modern cyber warfare and the use of drone that have temporal and geographical
aspects. While the principle of distinction is a fundamental principle derived from
religious teachings and strengthened in various humanitarian law instruments and
cannot be ruled out by non-military or human rights considerations. The perspective of
national law still requires fundamental improvement. The universal people's defense
system based on Article 27 para(3) and Article 30 para(1) of the 1945 Constitution
concerning the rights and obligations to defend the state on the one hand is not in line
with the application distinction principle because it will place all components as
"combatants". Article 7 of Law No. 34/2004 concerning the TNI which determines the
task on military operation other than war (MOOTW) to cope with insurgency and armed
separatist movement reflects contradictio in terminis. The Law No. 23/1959 concerning
the state of emergency and other rules have not set the threshold for conflict intensity and
its legal regime as an armed conflict.
Therefore the TNI Law must be revised regarding the determination on the status
of civilians in the application of distinction principle, the insurgency and armed
separatist movements should be handled with military operations and its affirmation as
armed conflict subject to humanitarian law regime. Law No. 23/1959 must determine the
objective parameters of the minimum threshold in non-international armed conflict and
legal regime for each state of emergency. Legal norms and government policies should be
carried out based on the rule of law, including the norms of international customary
humanitarian law such as distinction principle and a comprehensive Military Manual is
needed so conflict settlement is no longer reactive and partial.
No copy data
No other version available