Skripsi
PRAKTIK PEMBUANGAN AIR LIMBAH RADIOAKTIF PLTN FUKUSHIMA OLEH PEMERINTAH JEPANG KE LAUT BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL (FUKUSHIMA DAIICHI RADIOACTIVE WATER DISCHARGE CASE)
Tokyo Electric Power Company (TEPCO) memperkirakan kapasitas
penyimpanan air limbah radioaktif di area Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir
(PLTN) Fukushima Daiichi akan penuh. Pemerintah Jepang memilih solusi
dengan cara membuang air limbah olahan PLTN Fukushima ke laut Pasifik.
Praktik ini telah menuai perdebatan, kecaman, dan keberatan dari negara
tetangganya (Korea Selatan). Praktik ini belum mewakili semua pemangku
kepentingan (stakeholders). Keputusan sepihak ini tidak dapat begitu saja
menjadi preseden dalam pembentukan hukum kebiasaan internasional. OIeh
sebab itu, peneIitian ini berfokus pada pembahasan mengenai legalitas praktik
ini melalui tinjauan hukum internasional dan hukum lingkungan internasional
serta identifikasi bentuk pertanggungjawaban atas implementasi praktik
pembuangan air limbah radioaktif ke laut.
Metode peneIitian hukum yang digunakan yaitu pendekatan yuridis
normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. PeneIitian difokuskan
untuk mengkaji permasalahan secara komprehensif melalui analisis yang
berdasarkan instrumen-instrumen hukum internasional dan prinsip-prinsip
hukum lingkungan internasional yang relevan. Teknik pengumpulan data
diIakukan dengan cara studi kepustakaan, yakni meIaIui bahan hukum primer,
sekunder dan tersier. Adapun metode anaIisis data yang digunakan daIam
peneIitian ini adaIah yuridis kuaIitatif.
Berdasarkan hasiI peneIitian, dapat disimpuIkan bahwa kebijakan
Pemerintah negara Jepang untuk membuang air limbah radioaktif PLTN
Fukushima Daiichi ke laut Samudra Pasifik terindikasi bertentangan dengan
hukum internasional dan hukum lingkungan internasional. Alternatif ini bukan
pilihan yang tepat untuk dipilih dan dilaksanakan, karena belum mengidahkan
prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional dan kewajiban-kewajiban yang
terkandung dalam ketentuan perjanjian internasional seperti UNCLOS 1982,
Konvensi London 1972, dan Protokol 1996. Kemudian pertanggungjawaban
negara Jepang terhadap praktik ini dibahas dalam dua bentuk
pertanggungjawaban yaitu state’s strict liability dan strict liability of operator.
No copy data
No other version available