Skripsi
PENAFSIRAN “OPEN LEGAL POLICY”: STUDI TERHADAP PUTUSAN PENGUJIAN KONSTITUSIONALITAS UNDANG-UNDANG DI INDONESIA SKRIPSI
Persinggungan wewenang antara Mahkamah Konstitusi dalam menguji konstitusionalitas undang-undang dengan wewenang pembentuk undang-undang dalam menyusun undang-undang mengilhami MK untuk mendalilkan open legal policy, yang pada dasarnya menunjukkan luasnya wewenang pembentuk undang-undang untuk menentukan pilihan kebijakan, yang bernilai konsitusional. Namun demikian, MK belum memiliki standar yang jelas dalam menentukan norma mana yang bersifat open legal policy dan sejauh mana MK harus menahan diri untuk memeriksa perkara yang sifatnya open legal policy, sehingga menghasilkan putusan yang kontradiktif dan inkonsisten serta tidak menjamin kepastian hukum. Oleh karena itu, demi menghasilkan putusan yang berkeadilan, perlu ditentukan pedoman bagi MK berupa kriteria pengecualian pengujian norma open legal policy, dengan terlebih dahulu menggali makna dari open legal policy.
Untuk menemukan makna open legal policy, metode penelitian yang digunakan adalah political legal dan studi terhadap putusan MK (case-study design). Dengan political legal, makna open legal policy dikaji secara normatif berdasarkan putusan MK dan dilanjutkan dengan memahami konteks konfigurasi politik yang mempengaruhi pertimbangan putusan MK, yang dapat bersumber dari keterangan ahli Hukum Tata Negara, mantan Hakim Konstitusi dan anggota DPR, sebagai satu bagian yang integral. Penyelesaian kajian normatif dilakukan dengan case-study design yang memberikan gambaran komprehensif open legal policy dan memperoleh generalisasi yang bersifat terbatas. Sementara itu, penentuan kriteria pengecualian pengujian norma open legal policy dilakukan dengan metode yuridis normatif dengan menarik asas-asas hukum dari doktrin judicial restraint dan judicial activism serta penafsiran konstitusi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa open legal policy adalah sifat yang melekat pada suatu norma, yang menggambarkan keluasan wewenang pembentuk undang-undang dalam menentukan pilihan kebijakan, yang membatasi MK untuk mengintervensi keputusan tersebut. Secara teoritis, open legal policy bermakna judicial restraint, tetapi pada praktiknya, sulit untuk menggolongkannya sebagai bentuk pengekangan diri MK akibat pragmatisme putusan MK. Adapun parameter bagi hakim untuk dapat menguji norma open legal policy, di antaranya: (1) melanggar hak konstitusional atau setidaknya berpotensi; (2) bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusional; (3) menimbulkan problematika kelembagaan (institutional disaster); (4) pembentuk undang-undang tidak memiliki wewenang atau melampaui wewenangnya (ultra vires); dan (5) tidak relevan dengan situasi dan kondisi di masa sekarang.
No copy data
No other version available