Skripsi
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN KELAS 1A KHUSUS NOMOR 1394/PDT.G/2012/PA.JS TENTANG PEMBERIAN NAFKAH IDDAH DALAM PERKARA CERAI GUGAT YANG DIAJUKAN OLEH ISTERI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM
Pasal 41 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menerangkan bahwa Pengadilan dapat mewajibkan suami memberikan biaya penghidupan bagi bekas isteri. Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam menerangkan bahwa apabila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mut’ah, nafkah dan kiswah bagi bekas isteri selama masa iddah. Hal tersebut berarti hukum perdata positif hanya mengatur mengenai pemberian nafkah bagi bekas istri dalam perkara cerai talak, sementara belum ada aturan tentang hal tersebut dalam perkara cerai gugat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pertimbangan hakim dalam perkara cerai gugat apakah sudah tepat serta untuk mengkaji status hukum dari pemberian nafkah iddah dalam perkara cerai gugat yang diajukan oleh isteri.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah secara deskriptif analitis, yaitu dengan memberikan gambaran secara menyeluruh tentang suatu keadaan atau gejala yang diteliti. Metode analisis data yang digunakan adalah yuridis kualitatif, karena penelitian ini menjelaskan secara yuridis normatif melalui penelitian kepustakaan.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan oleh penulis, maka hasil dari penelitian ini yaitu pertimbangan majelis hakim dalam putusan tersebut mengenai pemberian nafkah iddah dalam cerai gugat yang diajukan oleh isteri adalah sudah tepat apabila ditinjau dari Pasal 41 huruf c UU Perkawinan, namun hal ini belum diatur dalam KHI, karena KHI hanya mengatur pemberian nafkah iddah dalam perkara cerai talak. Pemberian nafkah iddah karena adanya cerai gugat menurut Pasal 41 huruf C UU Perkawinan menjelaskan kata “perceraian” dapat berarti cerai talak maupun cerai gugat sehingga putusan tersebut memiliki status hukum yang kuat. Selanjutnya, menurut hukum Islam dan pendapat para ulama, diantaranya ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan jumhur ulama Salaf, putusan tersebut juga memiliki status hukum yang kuat.
No copy data
No other version available