Text
Putusan Pre-trial Chamber ICC terhadap Penyelesaian Kejahatan Deportasi dalam Kejahatan Terhadap Kemanusiaan atas Kasus Rohingya berdasarkan Hukum Perjanjian Internasional
PUTUSAN PRE-TRIAL CHAMBER ICC TERHADAP PENYELESAIAN KEJAHATAN DEPORTASI DALAM KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN ATASKASUS ROHINGYA BERDASARKAN HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONALABSTRAKEtnis Rohingya telah sejak dahulu tinggal diwilayah Rakhine yang berlokasi di perbatasan Myanmaryang berdekatan dengan negaraBangladesh. Namun demikian, Myanmar tidak mengakui keberadaan etnis Rohingya di Myanmar dengan melakukan berbagai kejahatan HAM berat salah satunya kejahatan deportasi yang puncaknya dilakukan pada Agustus 2017. Pada April 2018 penuntut umum ICC membawa kasus Rohingya ke ICC dengan mengajukan putusan pre-trial chamber ICC terkait pelaksanaan yurisdiksiICC untuk kasus Rohingya. Myanmar bukanlah negara pihak Statuta Roma, namun putusan Pre-trial Chamber ICC menyatakan bahwa ICC dapat melaksanakan yurisdiksinya berdasarkan pada pasal 12(2)(a) Statuta Roma karena adanya dugaan kejahatan deportasi kenegara Bangladesh sebagai negara pihak Statuta Roma. Myanmar menolak hasil putusan pre-trial Chamber ICC dengan menyatakan bahwa putusan pre-trial chamber ICC telah melanggar pasal 34 Konvensi Wina tentang prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosunt dimana perjanjian internasional tidak menimbulkan hak maupun kewajiban kepada negara pihak ketiga suatu perjanjian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterikatan perjanjian internasional terhadap negara pihak ketiga dikaitkan dengan yurisdiksiICC untuk negara pihak ketiga berdasarkan Statuta Roma. Metode penelitian yang digunakan penulis untuk menjawab pertanyaan dalam tugas akhir ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan melakukan penelitian kepustakaan dan data sekunder yang berkaitan dengan hukum perjanjian internasional khususnya Konvensi Wina 1969 dan Statuta Roma 1998.Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa putusan pre-trial chamber ICC dapat mengikat Myanmar sebagai negara pihak ketiga karena pasal 53 dan pasal 64 Konvensi Wina 1969 tentang norma jus cogens memberikan pengecualian terhadap prinsip pacta tertiisnec nocent nec prosunt dalam pasal 34 Konvensi Wina 1969. Selain itu, penulis juga menyimpulkan bahwa ICC memiliki yurisdiksiteritorial objektif dalam hukum pidana internasional untuk menerapkan yurisdiksinya di wilayah negara pihak yang terkena dampak dari kejahatan internasional yang dilakukan di wilayah negara pihak ketiga Statuta Roma.
No copy data
No other version available