Skripsi
STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62/PUU-VIII/2010 MENGENAI PENGERTIAN OMBUDSMAN SEBAGAI LEMBAGA NEGARA
Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK
RI No.62/PUU-VIII/2010 terhadap pengujian Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2)
UU No.37/2008 dan Pasal 1 angka 13 UU No. 25/2009, yang utamanya
Majelis Hakim MK telah memperluas makna ombudsman dan lembaga
negara dalam pengujian Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37/2008
namun mempersempit kedua makna tersebut dalam pengujian Pasal 1 angka
13 UU No. 25/2009. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah konsisten
penafsiran hukum yang digunakan oleh Hakim MK dalam Putusan MK No.
62/PUU-VIII/2010 dan bagaimana implikasi yang ditimbulkan Putusan MK
No. 62/PUU-VIII/2010 terhadap sistem ombudsman di Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan yuridis normatif yaitu dengan mendasarkan kepada data yang
diperoleh dari hasil studi kepustakaan dengan spesifikasi penelitian deskriptif
analitis.
Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa, penafsiran hukum
yang digunakan Hakim MK dalam Putusan No. 62/PUU-VIII/2010 dianggap
tidak konsisten terhadap pengujian Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU No.
37/2008 dengan pengujian Pasal 1 angka 13 UU No. 25/2009. Di satu sisi
Hakim MK memperluas makna ombudsman dan lembaga negara dalam
pengujian Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU No.37/2008, di sisi lain Hakim
MK mempersempit makna ombudsman dan lembaga negara dalam
pengujian Pasal 1 angka 13 UU No. 25/2009. Inkonsistensi ini berdampak
kepada sistem ombudsman di Indonesia, khususnya dalam kebebasan
pemerintah daerah maupun pihak swasta dalam membentuk ombudsman.
Berdasarkan pengujian Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37/2008,
sistem ombudsman di Indonesia menjadi sistem desentralistik, namun
melihat dari pengujian Pasal 1 angka 13 UU No. 25/2009 sistem ombudsman
di Indonesia berubah menjadi sistem sentralistik.
No copy data
No other version available